SPI



MASA BANI ABBASIYAH: PERKEMBANGAN POLITIK, KONDISI SOSIAL KEAGAMAAN, PERKEMBANGAN PERADABAN
Oleh: Hanafi
NIM: 1123100011
A.       ABSTRAK
Dari berbagai sumber buku yang telah ditemukan, tidak jauh beda pembahasannya dan sudut pandang sejarah yang diambil dari sejarah Daulah Abbasiyah, baik itu di masa keemasannya ataupun di masa kemundurannya. Daulah Abbasiyah berdiri pada tahun 750 M. Pertama kali yang menjadi Khalifah di dinasti Abbasiyah adalah Abu Al-Abbas as-Saffah. Pada masa kekhalifah as-Saffah dan Ja’far Al-Mansur banyak menghimpun kekuatan dibidang politik. Dan Islam menemukan masa keemasannya pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid dan anaknya al-Ma’mun. Harun Ar-rasyid  adalah seorang pecinta ilmu dan seni. Kota Baghdad dijadikan kota kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Jadi pada masa itu, pembangunan-pembangunan terus bermunculan, dari gedung perpustakaan dan rumah sakit yang sama-sama berpusat di Baghdad. Namun masa keemasan itu tidak utuh hingga sekarang, kemunduran dan jatuhnya Bani Abbasiyah mulai nampak, ketika faktor internal tergelayut dalam daulah Abbasiyah, dan mulai runtuh setelah faktor dari luar muncul, yaitu sebab peperangan salib dan peperangan melawan tentara Mongol.
B.       PENDAHULUAN
Sejarah peradaban Islam merupakan mata kuliah wajib bagi peserta didik di semua jenjang pendidikan lembaga pendidikan Islam, yang dimaksudkan agar peserta didik dapat mengetahui “Perjalanan dan perkembangan Islam” dari masa ke masa. Pembahasan makalah ini difokuskan pada pemerintahan Dinasti Abbasiyah, dari berdirinya dinasti Abbasiyah hingga kondisi politik yang terjadi dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Menariknya disini, sejarah peradaban Islam tidak hanya berputar pada masa Rasulullah, melainkan sejarah perdaban yang terjadi semasa setelah wafatnya Rasulullah dan setelah wafatnya para khulafaur Rasyidin. Dari sinilah, pemakalah ingin memberikan keluasan cerita dalam sejarah peradaban Islam, agar senantiasa tidak ada tanda tanya, sejak kapan kedaulatan Islam di dunia ini runtuh, dan kapan juga kemajuan Islam itu berlangsung. Dan yang menjadi inti pokok pertanyaan, seperti apa gambaran pemerintahan kedaulatan Dinasti Abbasiyah, seperti apa kondisi Islam di masa itu, seperti apa politik yang terjadi di masa itu dan seperti apa gambaran tentang kemunduran dinasti daulah Abbasiyah.
C.       PEMBAHASAN
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a bahwa Rasulullah SAW mengatakan kepada Al-Abbas, “Hari Senin pagi nanti datanglah engkau dan anakmu kemari, biar kudoakan mereka dengan doa yang bermamfaat bagimu dan anakmu.” Maka kami pun datang bersamanya. Beliau SAW memakaikan kain kepada kami kemudian berdoa, “Ya Allah, ampunilah Al-Abbas dan anaknya dengan ampunan lahir bathin, tidak menyisakan dosa. Ya Allah jagalah dia dan anaknya.” (HR. Tirmidzi) (Jisman 2012: 161)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Ummul Fadl r.a bercerita kepadanya, “Aku lewat di hadapan Rasulullah SAW lalu beliau bersabda, “Engkau ini sedang mengandung bayi. Kalau lahir nanti bawalah ia kepadaku.” Maka setelah melahirkannya, aku membawanya kepada Nabi SAW beliau adzan di telinga kanannya dan iqamah di telinga kirinya, lalu menyuapinya dengan air ludahnya serta menamainya Abdullah dan bersabda, “Pergilah bersama bapak para Khalifah ini.” Maka aku kabarkan itu kepada Al-Abbas. Ia yang senang dengan busana itu pun mengenakan pakaiannya kemudian menghadap Nabi SAW ketika melihatnya, beliau bangkit lalu mencium keningnya, dan disebutlah hal itu kepada Rasulullah SAW beliau pun bersabda, “Dia itu Bapak para Khalifah, hingga di antara mereka nanti ada As-Saffah, hingga di antara mereka nanti ada Al-Mahdi, hingga di antara mereka nanti yang mengimami Shalat Isa bin Maryam r.a
Disebutkan pula dalam riwayat yang lain bahwa masa pemerintahan Bani Abbasiyah akan berlangsung dua kali lebih lama disbanding masa pemerintahan bani Umayyah. (Jasiman 2012: 162)

a.      Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Menjelang akhir daulah Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
  1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
  2. Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
  3. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan daulah Umawiyah. (Musyrifah Sunanto 2007: 47)
Berdirinya Abbasiyah melalui beberapa tahapan perjuangan, yaitu:
  1. Adanya gerakan rahasia (100-129 H/718-746 M) atau identik gerakan bawah tanah. Gerakan ini dimaksudkan untuk menebarkan dan membentuk opini publik tentang keburukan pemerintah Umayyah.
  2. Adanya gerakan terang-terangan yaitu dengan ditaklukkannya Khurasan dan irak. Gerakan ini di bawah komando Abu Muslim Al-Khurasani. (Istianah Abu Bakar 2008: 65)
Nama Dinasti Abbasiyah diambilkan dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Al-Abbas ibn Abd Al-Mutthalib ibn Hasyim. (Abd. Karim 2007 : 143) Kemudian Al-Abbas mempunyai seorang putra yang namanya Abdullah bin Al-Abbas, menurunkan Dinasti Abbasiyah.
Berpangkal dari keluarga besar Abdul Mutthalib yang menurunkan tiga orang anak, yaitu Abbas, Abu Thalib, dan Abdullah (Ayahanda Nabi Muhammad SAW). Abbas putra sulung Abdul Mutthalib, mempunyai beberapa orang anak. Di antara anak-anak itu melahirkan Abdul Abbas As-Saffah. Cucu Abbas ini adalah tonggak lahirnya Dinasti Abbasiyah. (Andy Wasis 2004: 01)
Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara paksa menguasai Khilaifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah. (Abd. Karim 2007 : 143)
Peristiwa pemberontakan Abbasiyah, yang membawa Abu Al-Abbas as-Saffah ke tahta khalifah dan kematian khalifah Umayyah terakhir, Marwan II, tahun 750 M. Kejatuhan Umayyah bisa ditelusuri dari bertumbuhnya kekuatan dan kekecewaan para Mawali atau msuslimin non-arab, pecahnya persatuan suku-suku arab, dan kekecewaan sebagian besar anggota-anggota gerakan keagamaan umum, dan menyebarnya kerinduan bagi seorang juru selamat politis, seorang pemimpin karismatik, empat faktor ini memperlihatkan berbagai kekuatan yang bekerja di kemaharajaan itu, dan kemenangan gabungan kekuatan-kekuatan ini pasti membawa perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial dan politis. Pada saat yang sama, dukungan bagi hingga Abbasiyah juga berasal dari begitu banyak unsur yang heterogen sehingga sebagian kaum ekstremis di antara mereka pasti akan merasa tidak puas. (Montgomery Watt, 1990; 99)
Telah disebutkan, bahwa pada 749 M M. Abdul Karim, (2007: 144) mencatat, bahwa pertempuran antara Bani Umayyah dengan Bani Abbasiyah terjadi pada Februari 750 M. Dalam peperangan di Dzab II, gerakan Abbasiyah mencapai hasil, dengan mengalahkan khalifah Marwan II yang melarikan diri ke Mesir. Tahun itu juga, di Masjid Kufah (Irak) Abu al-Abbas As-Saffah mendeklerasikan dirinya sebagai Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Pada Januari 750 M/132 H, Marwan II dibunuh oleh pasukan Abbasiyah, maka mulai saat itulah secara de facto berdiri dinasti baru, Dinasti Abbasiyah. (Abd. Karim 2007 : 143)
Setelah menjadi Khalifah, Abu Al-Abbas Al-Saffah mengeluarkan perintah atau dekrit kepada para Gubernur, supaya tokoh-tokoh Umayah yang memiliki darah biru semuanya dibunuh. Ia sendiri juga banyak membunuh banyak rival dari Dinasti itu.
Semasa Dinasti Abbasiyah berkuasa, Islam mencapai keemasannya. Bukan saja bidang ekonomi yang maju pesat, tetapi juga kesusastraan, ilmu pengetahuan, dan kesenian. (Andy Wasis 2004: 01)
b.      Keadaan Politik
Sebelum Abu Al-Abbas Al-Saffah wafat (754 M), ia mengangkat saudaranya, Abu Ja’far Al-Mansur sebagai penggantinya untuk meneruskan kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Semula ibu kota pemerintahan dipusatkan di Anbar, dengan nama istana negaranya, al-Hasyimiah. Setelah Ja’far Al-Mansur memerintah ia memindahkan ibu kotanya di Baghdad, hal ini dikarenakan Anbar terletak di antara Syam dan Kufah yang selalu dapat ancaman dari kaum Syi’ah, maka pusat pemerintahan dipusatkan di daerah yang lebih aman, Baghdad (762 M) dengan nama Da al-Salam (Karim, 2007: 144). Demi keamanan dari lawan politiknya seperti orang Rawandiah, maka Ja’far Al-Mansur membangun sebuah kota yang indah dan aman di tepi sungai Tigris, kemudian dijadikan sebagai ibu kota baru Abbasiyah hingga akhir periode dinasti ini. (Abd. Karim 2007: 144)
Jika kita buka alamat Aki Suro di http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-Islam/Islam-pada-masa-daulah-bani-Abbasiyah/ (2013:03:04) dijelaskan Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman Khalifahurrasyidin. Hal ini dapat
dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya”.Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain:
  1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali.
  2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
  3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
  4. Kebebasan berfikir sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) diakui sepenuhnya.
  5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah.
Adapun politik yang dilakukan oleh daulah Abbasiyah II-III-IV antara lain:
  1. Kekuasaan khalifah sudah lemah bahkan kadang-kadang hanya sebagai lambang saja. Kekuasaan sebenarnya di tangan wazir atau panglima atau sultan yang berkuasa di Baghdad sehingga kadang-kadang nasib khalifah tergantung pada selera penguasa, di angkat, diturunkan atau bahkan dibunuh. Oleh karena itu, kekuasaan politik sentral jatuh wibawanya karena negara-negara bagian bagian (kerajaan kecil) tidak menghiraukan lagi pemerintah pusat kecuali pengakuan secara politis saja.
  2. Kota Baghdad bukan satu-satunya kota internasional dan terbesar, sebab masing-masing kerajaan berlomba-lomba untuk mendirikan kota yang menyaingi Baghdad.
  3. Kalau keadaan politik dan militer merosot, ilmu pengetahuan tambah maju dengan pesatnya. Hal itu disebebabkan masing-masing kerajaan, masing-masing amir atau khalifah atau sultan berlomba-lomba untuk memajukan ilmu pengetahuan, berlomba-lomba mendirikan perpustakaan, mengumpulkan para ilmuan, para pengarang, penerjemah, memberi kedudukan terhormat kepada ulama’ dan pujangga.  Hasilnya ilmu pengetahuan daulah Islamiyah ke-4 H lebih tinggi martabatnya dibandingkan abad sebelumnya. Kerena dalam masa tersebut berbagai ilmu pengetahuan telah matang. (Musyrifah Sunanto 2007: 52)
Dengan gambaran di atas maka dapatlah diketahui betapa kompleksnya kondisi politik Abbasiyah. Di satu sisi, keragaman kekuasaan yang ada menggambarkan adanya kedinamisan intelektual ataupun peradaban yang ada, namun di sisi lain menggambarkan perpecahan umat Islam dari sisi kesatuan kekuasaan. (Istianah Abu Bakar 2008: 81)
c.       Peradaban Keagamaan dan Keilmuan Di Masa Daulah Abbasiyah
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimamfaatkan Harun Ar-Rasyid untuk keperluan sosial, mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada di zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. (Ma’ruf, 2011: 192)
Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
  1. Dengan berpindahnya ibu Kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
  2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan bani Umayyah.
  3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional. (Ma’ruf, 2011: 194)

Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah dimuali berkembang ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
  1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan, dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
  2. Tingkat pendalaman, di mana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama’ bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bias berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama’ ahli kesana. (Ma’ruf, 2011: 195)

Lembaga pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al-Hikmah (Rumah kebijakan) yang didirikan oleh Al-Ma’mun (830 M) di Baghdad, ibu kota negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah observatorium. Pada saat itu, observatorium-observatorium  yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran astronomi. Fungsi lembaga itu persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran. Akan tetapi, akademi Islam pertama yang menyediakan berbagai kebutuhan fisik untuk mahasiswanya, dan menjadi model bagi pembangunan akademi-akademi lainnya adalah Nizhamiyah yang didirikan pada tahun 1065-1067 di Nizham Al-Mulk, seorang mentri dari Persia pada kekhalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan, dan Maliksyah, yang juga merupakan penyokong Umar Al-Khayyam. Dinasti Saljuk, sebagaimana Dinasti Buwaihiyah dan sultan-sultan non-Arab lainnya yang mengemban kekuasaan besar atas kehidupan umat Islam, bersaing satu sama lain dalam hal pengembangan seni dan pendidikan yang lebih tinggi. (Dedi Supriyadi, 2008; 136)
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua buku-bukunya di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Bashrah memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para serjana bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat itu menyimpan ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah itu kemudian didaftar dalam puluhan jilid katalog.
Selain perputakaan, gambaran tentang budaya baca dan periode ini bisa juga dilihat dari banyaknya toko buku. Toko-toko itu, yang juga berfungsi sebagai agen pendidikan, mulai muncul sejak awal kekhalifahan Abbasiyah. Al-Ya’qub meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891) ibu kota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di stu ruas jalan yang sama. Sebagian toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang muncul di Damaskus dan Kairo. (Dedi Supriyadi, 2008; 137)
d.      Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Pembahasan mengenai kemunduran pastilah dilihat dari 2 aspek yaoitu inetrnal dan eksternal. Adapun faktor internal yang bisa jadi menyebabkan kemunduran Abbasiyah sebagai pusat pemerintahan menurut Akbar S Ahmed dalam bukunya Citra Muslim adalah sebagai berikut:
1.      Roda pemerintahan dijalankan dengan sistem keluarga.
2.      Tidak menerapkan Syari’ah, dalam artian mereka tidak lagi mengindahkan syari’at tentang kehidupan berfoya-foya dan lainnya.
3.      Adanya sistem komunikasi yang buruk sehingga tidak mampu mencakup wilayah yang luas.
4.      Administrasi keuangan yang kacau balau dikarenakan amanat baitul mal disepelekan.
Adapun kemunduran Dinasti Abbasiyah yang terjadi akibat dari luar, setidaknya disebabkan oleh 2 serangan dari luar yaitu perang salib dan serbuan tentara mongol. (Istianah Abu Bakar 2008: 85)
Adapun menurut Syek Muhammad Al-Khudri, kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh:
1.      Semakin lemahnya tenaga pembela (Ashabiyah) yang mengawal dan mempertahankannya.
2.      Persaingan dan perebutan yang tidak berhenti antara Abbasiyah dan Alawiyah.
3.      Jatuhnya nilai-nilai amanah dalam segala bentuk.
Poin-poin kemunduran Dinasti Abbasiyah di atas setidaknya mempunyai kesamaan namun yang perlu dipahami bahwa kemunduran Islam dalam suatu dinasti lebih banyak didahului oleh faktor internal seperti yang pernah diperingatkan oleh Nabi bahwa umat Islam tidak dapat dikalahkan oleh  musuh kecuali kalau sesama mereka berselisih lalu mengundang musuh luar ke dalam rumah tangga mereka untuk menghancurkan saudara seagamanya yang berlainan aliran. (Istianah Abu Bakar 2008: 85)
D.       PENUTUP
Dinasti Abbasiyah keturunan dari Ibn Hasyim yang menghubungkan dengan nasab Rasulullah SAW. Pendiri Dinasti Abbasiyah ini adalah Abu Al-Abbas Al-Saffah, sekaligus menjadi khalifah pertama dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Sebelum wafat Abu Al-Abbas Al-Saffah mengangkat saudaranya Ja’far Al-Mansur.
Dinasti Abbasiyah melanjutkan tumpuk kepemerintahan setelah Dinasti Umayyah, dengan melakukan pemberontakan dan pertempuran. Akhir dari pertempuran terjadi pada bulan Februari 750 M melawan Dinasti Umayyah Marwan II yang kemudian melarikan diri ke Mesir, sedangkan Marwan II sudah meninggal sebelum pertempuran, pada bulan Januari 750 M.
Selama Dinasti Abbasiyah berkuasa, politik berjalan dengan stabil. Mampu meredam segala kekacauan yang terjadi. Namun disisi lain terjadi perpecahan umat Islam dari sisi kekuasaan dan kesatuan, contohnya seperti peristiwa yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah II-III-IV.
Keruntuhan dinasti Abbasiyah atau yang lebih dikenal dengan kemunduran Dinasti Abbasiyah, disebabkan oleh dua faktor, pertama faktor dari dalam (keluarga) dan kedua faktor dari luar (peperaangan dan penyerbuan).



DAFTAR PUSTAKA
Abdy Wasis, Leksikon Sejarah Nasional-Umum-Islam, Jakarta; PT Nimas Multima, 2004
Dedi Supriyadi, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, Bandung; CV Pustaka Setia, 2008
Istianah Abu Bakar, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, Malang; UIN Malang Press, 2008.
Ustadz Jasiman, Lc, Rijalud Daulah Mempersiapkan Pejabat Publik yang Merakyat, Solo; PT. Era Adicitra Intermedia, 2012
Ma’ruf, Sejarah Peradaban Islam, jilid 1, Pontianak; STAIN Pontianak Press, 2011
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dab Peradaban Islam, Yogyakarta; Pustaka Book Publisher, 2007
Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta; PT. Kencana Prenada Media Group, 2007.
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar